
Siang tadi, aku ikut sesi cupping kopi untuk pertama kalinya di kedai Shoot Me In The Head (SMITH) yang berlokasi di Duren Tiga, Jakarta. Sesi cupping yang dibuka untuk umum ini kerjasama dengan Placebo Coffee yang bawain 14 varietas biji kopi. Keseluruhan kopi tersebut hasil roasting dari tim Placebo.

Awalnya, aku penasaran dengan cupping karena salah satu barista di Jacob Koffiehuis menyarankan untuk coba ikutan semisal ada sesi public cupping. Aku kira cupping cuma exclusively dilakuin oleh profesional saja. 🥲
Barista di Jacob rekomendasiin untuk cek Emily Listening Space. Berhubung kedai Emily juga di Depok, jadi aku pikir, “Gampanglah, deket ini,”. Lha, tapi, aku malah belum sekalipun ketemu sesi cupping yang dibuka untuk umum apalagi yang jadwalnya matched.
Cuma ya, setelah aku pikir-pikir lagi, sayang juga ikut cupping kalau aku masih belum banyak ‘peka’ sama rasa dan aroma. Akhirnya, sambil nunggu entah kapan ada sesi public cupping, aku mutusin buat latihan sensori sebisaku. Niat, ya?
Ya habis gimana. Logisnya gini, kopi yang disajiin pas cupping pasti unik-unik atau minimal kopinya bakal masuk sebagai menu baru di kedainya, kan? Makanya, sayang aja kalau aku cuma sekedar ikut cupping tapi ini lidah dan rongga mulut ngga bisa diajak kerjasama buat ngga cuma enjoy kopinya tapi bedain profil rasa kopi yang beragam.
Setelah bertanya kesana kemari dan baca-baca yang intinya gimana melatih kepekaan aroma dan rasa, aku akhirnya latihan dengan banyak makan buah. 😄
Jadi, latihannya bukan mencari rasa yang dinikmati saat dimakan aja. Tapi, latihan ini menajamkan indera pada rasa yang tertinggal (aftertaste) setelah kita makan buah, coklat, atau objek lainnya. Misal, aroma asam-manisnya buah beri-berian (stroberi dan blueberry) beda dengan asam-manisnya apel yang lebih ke tart. Gitu juga dengan asam-manisnya mangga, jambu, nangka, atau bahkan pepaya. Apalagi mangga dan nangka yang punya aroma wangi yang distinct.
Nah, selama cupping hari ini, aku ketemu kopi yang bikin aku mikir “Wangi betul!!!” pada kopi No. 1 dan No. 2. Wanginya itu wangi manis buah cuma yang lebih manis dan ada wangi bunga samar-samar itu ada di kopi No. 2. Yup, kartu info kopinya belum dibuka saat awal cupping untuk menghindari bias penilaian/pengamatan saat kita mencoba kopi tersebut. Aku cuma berharap itu kopi No. 2 beneran dijual soalnya enak banget. Jujur, aku agak ngerasa bersalah bisa ikutan cupping ini gratisan. 🥲
Ngomong-ngomong, selain kopi No. 1 dan No. 2, ada satu kopi yang sampai aku bolak-balik cobain bahkan menyendok beberapa kali ke dalam cup-ku karena bikin aku ngebatin “Heh, kamu kok enak?!”. Kopi itu adalah si kopi No. 4.
Tentu saja aku belum tahu identitasnya saat itu. Uniknya, saat si No. 4 ini mulai dingin, rasa asamnya kok jadi nendang banget ya? Agak kaget.
Kalau aku bisa simpulin dari pengamatan alur cupping yang dilakuin oleh tim SMITH, jadi cupping dimulai dengan:
- Menggilingbiji kopinya di tempat saat itu juga
- Menghirup aroma yang menguar dari hasil gilingan biji kopi
- Menyeduh kopi yang diatur waktunya
- Menghilangkan buih-buih pada permukaan kopi yang diseduh
- Cicip deh kopinya!
Untuk setiap proses cupping pada kopi yang berbeda, setiap peserta disediakan sendok cupping. Selesai cupping dari satu cup, sendok harus dibilas dengan air putih. Tujuannya? Ya, supaya rasanya ngga bercampur dengan kopi selanjutnya yang akan dicoba.
Peserta boleh sih kalau menelan kopi yang sudah disesap. Tapi, aku mikir “Sayang bangetlah, mana kopinya unik begini,”. Akhirnya, aku berujung minum air putih secukupnya. Cukup untuk membilas mulutku sebelum mencoba kopi lainnya.
Akhir sesi cupping, perwakilan dari tim SMITH kasih kuis ke peserta cupping.
“Oke, siapa yang bisa nebak kopi nomor berapa yang Euginioides, bakal dapat beans-nya gratis!”
Boro-boro paham profil rasa dan aromanya Euginioides, nyobain aja belum pernah. Dari 14 kopi yang diseduh itu, semuanya baru buatku. Jadi, bukan challenging lagi ini mah, tapi no idea at all buat menebak kopi nomor berapa yang Euginioides.
Akhirnya, masnya yang kasih pertanyaan itu pun kasih petunjuk tipis-tipis tentang karakter si Euginioides ini. “Dia itu ada hint wangi dan manis,”. Aku cukup pede dengan wangi karena ada beberapa kopi yang wanginya distinct betul. Cuma, aku ngga yakin pas ada kata kunci ‘manis’. Bisa aja manis menurut masnya kan beda interpretasi dengan yang aku masih coba pahamin.
Aku bolak-balik nyoba kopi No. 1 dan No. 2. Soalnya dari 14 kopi yang kucoba, ini dua kopi kok wangi buah begitu ya. Aku jadi keinget seduhan Moonstone yang kucoba di kedai Niji Coffee depan Stasiun Bogor. Baik banget baristanya ngasih coba ini kopi secara cuma-cuma pula! Wangi buahnya distinct begitu, tapi aku galau ke No. 2. Kok wanginya kaya ada wangi bunga gitu ya?
Pasrah, akhirnya aku coba milih No. 2 sebagai jawabanku. Aku ngga berharap banyak ini Euginioides atau bukan. Yang jelas, apapun si No. 2 ini, aku pengen beli beans-nya karena seenak dan sewangi itu. Kayanya nyeduh si kopi No. 2 pagi-pagi sambil dibarengin makan pastry manis kayak pai apel atau ngga yang instan gitu deh kaya Genji Puff Pastry yang isinya selai stroberi itu fix sih enak.
Duh, nulis begini aja bikin aku kepengen minum lagi. 😋
Jeng jreng…. ternyata si kopi No. 2 adalah si Euginioides!

Alhamdulillah dapat beans gratis. Terima kasih tim Placebo dan SMITH yang kepikiran aja bikin kuisnya!

Berhubung aku sudah dapat beans yang aku incar, aku jadi mikir, “Boleh juga nih beli yang lain, “. Agak galau, mau beli No. 1 atau No. 4 ya? Setelah menimbang-nimbang, aku lebih condong ke No. 4 karena masih penasaran sama rasanya. Ini kopi kasih kesan yang beda pas kopinya sudah agak dingin.
Waktu kartu-kartu info kopinya dibuka satu-satu, I was like…

Kopi No. 1 dan No. 2 yang sama-sama wangi itu ternyata kopi yang menduduki posisi juara 1 dan 2 pada gelaran World Barista Championship (WBC) 2022. Kopi No. 2 yang merupakan varietas Euginioides itu ternyata punya profil aroma mawar. Now, it made sense why this coffee has subtle floral fragrant!

Kopi No. 1 sendiri merupakan varietas Sydra. Unik ya, karena si Sydra ini punya wangi buah yang distinct juga kata Euginioides padahal mereka beda varietas.

Btw, kejutan selanjutnya? Kopi No. 4 yang aku penasaran itu ternyata kopi yang masuk posisi semifinalis di WBC 2022 juga.

Yap, at this point, aku lumayan ngebatin,
“Do I even deserve to have my first cupping session with these beans for FLIPPIN FREE, THESE GUYS ARE EITHER TOO KIND OR WHAT?”
Akhirnya, setelah pertimbangan cukup galau antara beli No. 1 atau No. 4, aku memutuskan buat memboyong si No. 4. Kopi No. 4 ini juga sama-sama varietas Sydra seperti No. 1. Selain penasaran, aku juga heran, kok bisa ya sama-sama Sydra tapi profilnya beda gitu.

Berhubung lagi di sini, yaudah aku mutusin buat tanya hal-hal yang bikin aku penasaran. Ada momen waktu perwakilan dari SMITH yang memandu sesi cupping hari ini bilang kalau kopi-kopi hari ini kopi juara. Nah, aku penasaran, apa sih yang jadi standar saat seseorang menilai seduhan kopi di kompetisi? Maksudku, ngga mungkin cuma faktor ‘enak’ kan? Lagian, enak ‘kan sifatnya relatif. Dengan kata lain, aku penasaran cara seorang juri menilai seduhan kopi yang dilombakan.

Nah mas dari SMITH ini menjelaskan salah satu standar yang dinilai adalah cara peserta mendeskripsikan karakter rasa dan aroma dari kopi. Apakah sesuai dengan yang menjadi standar juri atau tidak. Secara umum, para ahli kopi sudah punya baseline tertentu, misal rasa dari suatu objek pada varietas tertentu dengan pemrosesan tertentu itu. Dan, gimana caranya untuk kita yang awam bisa punya pemahaman terhadap baseline rasa dan aroma yang spesifik?

Aku memutuskan untuk meminta Euginioides diseduh di kedai SMITH. Saat ini, aku masih mikir “Oke, mari kita minum kopi ini,”. Hitung-hitung, aku sekalian selebrasi baru selesai satu pekerjaan riset kemarin.
Sambil kopinya diseduh, aku nanya-nanya juga ke baristanya. Aku jadi penasaran, apakah si Eugin (ciee, Eugin banget ini?) yang pas kubaca diproses secara natural ini bakal punya rasa yang berbeda kalau diproses dengan cara lain? Ternyata… iya. ‘Sekuat-kuatnya’ biji kopi itu punya karakter bawaan tertentu, dia bakal menunjukkan spektrum rasa dan aroma yang lain saat diproses dengan cara berbeda.
Seketika pas denger penjelasan itu, aku jadi keinget faktor epigenetik pas kuliah genetika. Karakter yang tampak/fenotip pada suatu organisme memang sudah terkodifikasi dalam gen. Tapi, bagaimana gen itu diekspresikan dan muncul menjadi fenotip pun bergantung salah satunya dari faktor epigenetik.
Kurang lebih begitu juga dengan kopi, setiap biji kopi sudah jelas punya susunan gen yang mirip misal pada sesama spesies C. arabica. Nah, diversifikasi yang muncul dalam bentuk ragam varietas biji C. arabica ini yang akhirnya tidak bisa bergantung dari susunan gen-nya saja. Kondisi tempat kopi itu tumbuh seperti iklim, curah hujan, rentang paparan cahaya matahari secara tahunan, ketinggian tanah tempat kopi tumbuh, jenis tanah, sampai unsur hara pada tanah sudah jelas jadi faktor epigenetik lingkungan yang memengaruhi kualitas intrinsik kopi.
Itu baru intrinsik lho. Ekstrinsiknya? Ya itu tadi, pemrosesan pascapanen biji kopi pun ikut memengaruhi profil rasa dan aroma kopi. Okay, at this rate, this whole complex thing in post harvest process now seems so much interesting! 🤩
Ngga kerasa tiga cup Eugin-ku habis. Aku mesti balik ke lab karena jam istirahat juga sudah selesai. Selama perjalanan pulang naik gojek, aku kepikiran mau nyarijurnal apa ya buat belajar kopi ini. Jujur, aku jadi tertarik sama pemrosesan pascapanennya. Terus juga, aku penasaran ada ngga ya yang modifikasi kopi secara genetik, misalnya mungkin supaya si coffee shrub-nya bisa tahan patogen tertentu gitu.
SUMPAH YA JADI ASIK BANGET PERKOPI-KOPIAN INI!

Intinya, beneran deh makasih banyak tim SMITH yang udah hosting sesi public cupping ini bareng tim Placebo yang baiknya offside sih karena sudah berkenan bawain kopi-kopi yang unik dan kelas juara. Seneng banget, aku jadi belajar banyak hari ini!

Oke, sekian dulu.
Sampai jumpa pada tulisan selanjutnya!
Epilog: