
Senang sekali rasanya bisa kembali di Terminal Hujan!
Sejak 2019, aku sangat bersyukur bisa ikut turun lapangan dengan mengajar di sini. Jujur aja, aku ngga merasa ‘cuma’ mengajar aja di sini. Aku juga jadi ikut ‘belajar’. Iya, belajar berkomunikasi dengan tingkat-tingkat pemahaman yang berbeda pada setiap anak.
Sayangnya, salah satu pekerjaanku saat ini membuatku menunggu hingga situasi cukup kondusif untuk kembali berkegiatan di Terminal Hujan (TH). Aku bekerja sangat dekat dengan si virus penyebab pandemi ini. Jadi, aku berusaha untuk divaksin hingga booster ke-empat. Bukan hanya untuk aku aja, tapi ini juga caraku untuk menjaga khususnya adik-adik di TH.
Akhir-akhir ini, angka kasus COVID-19 juga makin turun… setidaknya itu yang terdeteksi di tempatku bekerja. Situasi di Bogor pun juga terpantau kondusif. Kakak-kakak pengurus di TH pun juga menilai kondisi sudah aman untuk re-opening sekolah dalam kapasitas seperti biasanya. Walaupun begitu, perubahan yang cukup kentara banget nih: Kakak-Kakak yang berkegiatan di lapangan wajib pakai masker, dan kelas diadakan dalam kelompok-kelompok kecil.
Ngomong-ngomong tentang kembali mengajar, banyak hal yang harus aku follow up sejak pandemi selama dua tahun ke belakang. Banyak cerita tentang adik-adik yang bertanya ke kakak-kakak pengurus, “Kak, kapan mulai belajar lagi?”. Senang sekali mendengar antusiasme mereka, ya.
Namun, cerita sedih pun juga menyertai. Beberapa adik tidak melanjutkan sekolah. Pandemi semakin menekan kondisi keuangan beberapa keluarga. Pandemi juga membatasi ruang gerak adik-adik untuk belajar dengan layak. Perangkat komputer, gawai elektronik, hingga koneksi internet yang stabil?
Ironis, karena aku menulis ini dengan nyaman di ruang lab ber-AC, terkoneksi internet. Kamu pun mungkin membaca tulisanku ini dalam situasi yang baik-baik saja seperti aku…. atau setidaknya lebih baik dari kondisiku. Walau begitu, aku ngga mau menyerah dengan perasaan hopeless. Aku rasa aku cukup punya banyak hal yang bisa aku manfaatin apapun itu untuk membantu adik-adik mengejar ketertinggalan akibat pandemi ini.
Sisa-sisa ambis jaman kuliah akhirnya terpicu lagi setelah mendengar cerita-cerita itu. Aku memilih kelas SMP sebagai kelas baruku untuk periode ajaran Januari – Maret. Ini kali pertamaku mengajar adik-adik kelas SMP karena sebelumnya aku terbiasa mengajar adik-adik kelas SD ‘kecil’ (kelas 1-3)… dan TK. :’)
Bukan tanpa sebab aku memilih kelas SMP. Dari cerita yang aku dengar, aku jadi paham kalau transisi dari SD ke SMP selama masa pandemi itu bukan hal yang mudah. Pembelajaran yang terbatas selama pandemi itu menyulitkan adik-adik yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas belajar jarak jauh yang memadai. Menguatkan pemahaman dasar dari materi tingkat SD dengan mengintegrasikannya ke materi tingkat SMP jadi tujuanku sampai bulan Maret nanti.
Tentu aja, kelas yang aku ajar tidak semuanya berada di kelas yang sama. Sebagian besar kelas 7 SMP, ada yang kelas 8 SMP, dan hanya beberapa yang sudah kelas 9 SMP. Dengan beragam tingkat tersebut, aku harus memutar otak gimana caranya menyiapkan materi yang universal tapi bisa memenuhi tujuanku di atas.
Singkat cerita, aku memutuskan untuk tidak terpaku pada silabus mata pelajaran pada kurikulum SMP. Aku membuat satu ‘garis besar cerita’ untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Misal, untuk mata pelajaran Biologi, ‘garis besar cerita’ yang akan diajarkan adalah perbedaan makhluk hidup; hewan (termasuk manusia), tumbuhan, dan bakteri. Jadi, pembelajaran akan dimulai dengan mengenali sel dan organelnya dalam bentuk cerita tentang “Petualangan di dalam Sel”.
Metode bercerita menurutku lebih membantu seseorang untuk mengingat suatu hal yang sifatnya berupa ‘proses’ atau ‘cara kerja’. Metode ini akan lebih baik lagi bila dilengkapi dengan gambar. Ngga peduli kamu pembelajar visual atau pun bukan, tapi adanya gambar yang menarik dan berwarna pasti bikin kita semangat kan… minimal mata melek dikit, hehe.
Ngomong-ngomong warna ya, aku menerapkan apa yang kusebut sebagai color-coding. Teknik color-coding ini sebenarnya berasal dari kebiasaanku dalam meng-highlight kata kunci atau bagian tertentu setiap membaca apapun itu. Misal, highlight merah untuk hal yang aku tidak tahu, kuning untuk hal yang aku perlu catat/tulis ulang dalam rangkuman, dan hijau untuk hal yang menarik dalam bacaan.
Color-coding yang kulakukan pada materi ajar tentang perbedaan sel simply hanya menyediakan gambar penampang sel yang berwarna. Tiap bagian sel/organel memiliki warna yang berbeda sehingga ngga cuma menarik perhatian adik-adik tapi juga memudahkan mereka setidaknya untuk membedakan antar organel.

Tentu saja, metode color-coding tidak cukup berdiri sendiri. Ia harus dibantu dengan penyampaian yang menggugah adik-adik. Setelah menjabarkan materi dengan cara bercerita (storytelling), aku meminta adik-adik untuk memilih organel mana yang menjadi:
- Organel favorit
- Organel yang bentuknya keren
- Organel yang namanya unik
Dengan bertanya seperti itu, adik-adik akan lebih mau untuk berpartisipasi aktif dalam mencari apa hal yang menarik baginya. Logisnya, manusia akan lebih mau untuk mengetahui hal yang menggugah ketertarikan atau rasa ingin tahunya kan? Nah, begitulah yang terjadi saat kelas “Sel Makhluk Hidup” di Terminal Hujan ini.
Kelas kami dibagi menjadi dua kelompok. Aku kebagian untuk menjelaskan tentang sel eukariot hewan. Dua dari lima adik, namanya Arief dan Rafi, aktif sekali bertanya tentang organel-organel yang menarik perhatian mereka. Arief banyak bertanya tentang lisosom yang juga jadi organel favoritnya. Saat aku tanya kenapa lisosom jadi organel favoritnya, kurang lebih jawaban Arief begini,
“Soalnya dia keren bisa mecah-mecah senyawa begitu ya Kak,”
Itu baru dari Arief. Nah, kalau Rafi unik banget. Dia memilih aparatus Golgi karena,
“Warnanya ngejreng sendiri Kak,”

Hehe, memang contoh penampang sel yang kuberikan itu memberi warna merah sendiri pada organel aparatus Golgi. Hal sesederhana macam warna ini akhirnya yang membuat Rafi penasaran dengan Golgi dan ujung-ujungnya dia jadi membaca fungsi Golgi ini apa. Ngga cuma Golgi, Rafi juga memilih nukleus yang bentuknya keren karena,
“Paling besar sendiri Kak!”
Jadi, aku merasa saat kita melibatkan unsur yang menarik perhatian ke dalam pertanyaan/pemicu diskusi, dalam hal ini seperti warna, bentuk, atau bahkan nama, kita mendorong adik-adik untuk berpartisipasi mencari hal yang mereka suka. Dengan kata lain, kita memicu rasa ingin tahu mereka dari sudut pandang mereka, bukan dari pengajar.
Ngomong-ngomong nukleus nih, akhirnya adik-adik pun juga tahu di dalam nukleus ada struktur yang bernama kromatin. Aku senang sekali saat Arief kembali menjelaskan ke teman di kelompok sebelah (yang belajar sel tumbuhan) kalau kromatin itu seperti kalung tasbih,
“Iya pokoknya si materi genetiknya itu panjang seperti benang, melingkar di bulet-buletan molekul kaya kalung tasbih,”
Lucu sekali penjelasannya! ^^
Memang, aku belum menjelaskan kalau ‘beads’ yang ada dalam struktur kromatin itu namanya histon. Cuma pada tahap ini, aku merasa memberikan analogi yang mudah divisualisasikan itu tidak hanya membantu anak-anak untuk memahami suatu hal, tetapi juga menarik perhatian mereka untuk mau memahami.
Nah sampailah kita di akhir dari logbook ajar-mengajar ini. Kalau aku bisa simpulkan sejak saat penyusanan materi, ada tiga poin strategi yang penting selama mengajar sesuatu yang sifatnya untuk mengenali struktur dan fungsi:
- Gunakan warna untuk memudahkan anak mengenali bentuk benda atau struktur bagian yang berbeda dalam sistem suatu unit (dalam hal ini sel)
- Ketimbang hafalan satu per satu, gunakan metode bercerita ketika menjelaskan sistem suatu unit
- Libatkan anak dengan cara membuat mereka mengenali bagian dari suatu sistem yang menarik perhatian
Pekan depan, kami akan belajar matematika. Aku rasa aku perlu beradaptasi dengan strategi yang berbeda untuk membuat adik-adik tertarik memahami materinya. Sejauh ini, ada dua hal yang sudah kepikiran mau diimplementasikan pada pembelajaran matematika. Hehe, mari kita lihat apakah aku mampu mengimbangi energi mereka juga. Beneran ya, mereka aktif banget bertanya!

Well, sekian cerita hari ini. Sampai ketemu pada ‘laporan mengajar’ selanjutnya!