
Jakarta Simfonia Orchestra membuka gelaran konser ini dengan suatu karya yang didedikasikan untuk kondisi global saat ini mengingat perang masih terjadi di belahan utara bumi kita. Tanpa mengurangi ataupun mengecilkan situasi yang terjadi saat ini, gelaran konser ini menjadi pengingat bahwa di tengah kondisi yang mencekam pun selalu ada harapan akan masa depan yang lebih baik.
Komposer-komposer dari tanah Rusia selalu memiliki warna suara yang khas, yang entah kenapa sangat ‘Rusia’ pada karya-karyanya. Pada satu sisi, periode romantik ala Rusia terdengar dream–like dengan warna tradisional/folk dan spiritual menyatu jadi satu. Di sisi lain, ia juga terdengar seperti genderang perang dan semangat rakyat Rusia yang mencoba bertahan di tengah dinginnya belahan bumi utara. Karya Rachmaninoff pun tidak lepas dari seluruh elemen-elemen yang beragam tersebut.
Jakarta Simfonia Orchestra pada 13 Agustus lalu membawakan nuansa periode romantik Rusia melalui dua karya Sergei Rachmaninoff; Konserto Piano No. 3 dalam D Minor dan Symphonic Dances. Melalui arahan konduktor kenamaan yang juga pemenang La Maestra 2020, Rebecca Tong memandu orkestra ini bersama dengan pianis veteran dari Inggris, Sir Stephen Hough CBE, yang tampil membawakan konserto piano favorit dari Rachmaninoff.

Sebelum memulai ulasan ini, aku ingin berterima kasih karena Stephen Hough dapat berkesempatan tampil di Indonesia. Pianis-pianis favoritku yang lain seperti Van Cliburn, Horowitz, dan Pollini tentu saja ngga bisa kusaksikan lagi penampilannya secara langsung, jadi aku senang sekali masih bisa menyaksikan Stephen Hough di sini. Apalagi beliau pernah membawakan karya Rhapsody on A Theme of Paganini di BBC Prom 2013 dengan sangat apik.
FYI, rekaman Konserto Piano No. 3 yang dimainkan oleh Stephen Hough tuh sejarang itu ditemuin bahkan ngga ada juga di Spotify. Satu-satunya surviving recording beliau dengan konserto ini yang bisa kita tonton pun hanya hasil re-upload dari penampilan beliau dengan NHK Symphony Orchestra… tahun 1993.
Okay, it’s a bit personally emotional here. Waktu Aula Simfonia Jakarta mengumumkan Konserto Piano No. 3 Rachmaninoff akan dibawakan oleh Stephen Hough, aku ada kali ya bengong di depan layar HP. Antara percaya ngga percaya,”Ini beneran kan, ini beneran anjir aing kesampaian nonton Stephen Hough bawain Rachmaninoff No. 3!!!!”. It’s like watching your bias playing your bias composer’s work!
Ngomong-ngomong untuk ulasan kali ini, aku memfokuskan untuk membahas Konserto Piano No. 3-nya terlebih dahulu. Semoga nanti ada waktu melanjutkan draf ulasan Symphonic Dances Op. 45. :’)
Sekilas Kisah Konserto Piano No. 3 Rachmaninoff
Sedikit cerita tentang konserto ini, Rachmaninoff sendiri mengakui kalau konserto ini merupakan konsertonya yang paling dia sukai. Selain terkenal sebagai konserto favorit Rachmaninoff, konserto ini juga terkenal karena kompleksitas tekniknya yang membuatnya jadi sangat menantang untuk dimainkan oleh para pianis. Tidak heran kalau konserto ini menjadi repertoar yang dimainkan pada kompetisi-kompetisi piano contohnya seperti final stage kompetisi piano internasional Van Cliburn tahun ini. Pemenang Van Cliburn International Piano Competition 2022, Yunchan Lim dari Korea Selatan, memainkan konserto ini bersama Marin Alsop sebagai konduktor.
Konserto Piano No. 3 didedikasikan Rachmaninoff untuk Josef Casimir Hofmann, pianis Amerika kelahiran Polandia, yang uniknya tidak pernah sama sekali Hofmann memainkan konserto ini karena tekniknya yang kompleks. Rachmaninoff menggubah konserto ini dalam lawatannya ke Amerika Serikat dan menyelesaikannya saat beliau di Moskow. Sebagai konserto yang ‘lahir’ di the land of the free, konserto ini pernah dibawakan dua kali di New York oleh pengaba Walter Damrosch dan…. Gustav Mahler! 🤩
Disandingkan dengan Konserto Piano No. 2 yang dinilai sebagai salah satu konserto Rachmaninoff yang paling mengena dan ikonik, Konserto Piano No. 3 ini cukup sering dibandingkan dari aspek teknik dan musikalitasnya. Konserto ini kemudian menjadi lebih populer sejak pianis Amerika kelahiran Rusia, Vladimir Horowitz, sering membawakannya pada konser-konsernya. FYI, Horowitz ini tipe fans sukses yang berhasil di-notice idolanya lho hehe. As you can guess, Horowitz muda ini kenal sampai diakui keahliannya sama Rachmaninoff. Rachmaninoff sendiri pernah ditanya pendapatnya tentang Konserto Piano No. 3 dan dijawab oleh beliau, “Tanya aja sama Horowitz,”. Sepercaya itu sama kemampuan interpretasi Horowitz.
Ulasan Utama
Konserto piano ini memiliki tiga bagian/gerakan (movement); (i) Allegro ma non tanto, (ii) Intermezzo – Adagio, (iii) Finale – Alla breve.
Bagian Pertama (First Movement): Allegro ma non tanto
Bagian pertama konserto ini memiliki ‘warna’ tempo Allegro ma non tanto yang dapat diartikan sebagai “dimainkan secara cepat (allegro) tapi tidak berlebihan (ma non tanto)”. Rachmaninoff pernah menjelaskan pada kawannya, Joseph Yasser, bahwa inspirasi motif pada bagian pertama dari konserto ini ‘datang sendiri’ seperti ilham yang tidak ia sadari.
Bagian pertama dibuka sejenak oleh alunan musik gesek/strings (violin, viola, cello, contrabass), bassoon, klarinet, dan timpani kemudian diikuti oleh piano yang memainkan motif pertama dari bagian ini yang kamu bisa dengar pada 1 menit pertama. Kamu bisa dengar contohnya pada tautan ini. Nah, setelah 1 menit pertama, pianis mulai membawa kita dengan arpeggio (nada-nada yang dimainkan secara berurutan) yang nada-nadanya terdengar seperti naik/ascending. Arpeggio ini diiringi oleh motif pertama yang dimainkan kembali oleh orkestra.
Ngomong-ngomong, salah satu cadenza pada bagian pertama Konserto Piano No. 3 ini dinilai sangat menantang dari segi teknik permainan. Selain bertujuan sebagai ornamen yang dapat diimprovisasi cara bermainnya sesuai kemampuan pianis, cadenza juga dimaksudkan salah satunya untuk menonjolkan kemampuan virtuosik dari sang solois. Fun fact nih, Rachmaninoff menulis dua versi cadenza untuk konserto ini; cadenza regular dan ossia. Cadenza ossia yang bergaya chordal (melodi-melodi tersusun dari nada-nada yang dimainkan secara bersamaan) awalnya ditulis Rachmaninoff, baru kemudian beliau menulis versi regulernya yang lebih bergaya seperti toccata (jenis teknik yang menekankan kecepatan solois dalam memainkan nada-nada). Dengan kata lain, cadenza ossia terdengar ‘dalam dan berat’, sedangkan cadenza reguler terdengar ‘ringan’ (dan cepat!).
Kamu bisa dengar perbedaan keduanya di sini:
Cadenza Regular (time stamp 11:40) yang dimainkan oleh Vladimir Horowitz bersama New York Philharmonic Orchestra arahan Zubin Mehta.
Cadenza Ossia (time stamp 11:33) yang dimainkan oleh Van Cliburn bersama Moscow Philharmonic Orchestra arahan Kirill Kondrashin.
Nah, gimana dengan Sir Hough dan pilihan cadenza yang dimainkannya? Pada konser ini, Sir Hough memainkan versi ossia. Memang, jam terbang beliau pun udah sangat tinggi tapi aku ngga pernah habis-habisnya kagum dengan teknik yang beliau tunjukkan saat memainkan khususnya ossia ini.
Setelah cadenza ini selesai, kita dibawa kembali mendengarkan alunan orkestra dengan arpeggio piano yang ringan seakan berganti peran dengan orkestra. Tidak lama sesudah bagian ini, kita kembali dibawa menikmati cadenza lembut (dolce) yang ekspresif dari piano solo. Menuju akhir dari bagian pertama, baik piano dan orkestra kembali memainkan motif pertama seperti yang kita dengar pada awal bagian pertama dimulai.
Bagian Kedua (Second Movement): Intermezzo – Adagio
Bagian kedua memiliki tempo adagio yang berarti lambat. Dibuka dengan alunan orkestra yang mendayu dan berlangsung cukup lama (kurang lebih 3 menit), alunan piano kemudian mengikuti. Alunan piano ini terkesan seperti ‘keras dan menggebrak’, namun tidak lama kemudian bagian piano ini terdengar melembut. Alunan orkestra kembali mengiringi piano. Bisa dibilang, lima menit pertama dari bagian kedua ini terdengar seperti pasang surut ombak.
Motif pertama dari bagian pertama kembali dimainkan oleh alunan orkestra hingga menuju akhir dari bagian kedua. Alunan orkestra menuju akhir bagian kedua ini cukup dramatis sih kalau dipikir-pikir. Tidak lama, cadenza piano yang singkat terdengar cepat (sangat kontras dengan tema adagio yang ditonjolkan oleh orkestra) dan mengakhiri bagian kedua konserto ini tanpa jeda untuk akhirnya memasuki bagian ketiga.
Bagian Ketiga (Third Movement): Finale – Alla breve
Alla breve diartikan sebagai dua ketukan dalam satu birama (tempo 2/2). Dengan kata lain, bagian ketiga ini memiliki tempo yang cepat. Dibuka tanpa jeda dari bagian kedua oleh alunan piano, motif/tema yang menunjukkan kesan heroik yang kuat sangat kental pada bagian ketiga. Secara umum, kita dapat mendengar kembali motif-motif yang dimainkan pada bagian pertama dan kedua yang muncul pada bagian ketiga. Yup, mendengar bagian ketiga pasti bakal ada momen “Eh ini kaya balik lagi ke bagian sebelumnya ya,”.
Bagian ketiga ini dihiasi oleh variasi dalam tempo scherzando yang diisi oleh piano sambil diiringi oleh alunan orkestra yang tenang. Scherzando yang diartikan sebagai ‘memainkan nada secara ceria (playfully)’ memiliki konsekuensi tempo yang cepat pada bagian ketiga ini. Tidak salah, bagian finale ini betul-betul kontras vibe-nya dengan bagian kedua sebelumnya.
Menuju akhir bagian ketiga, kita disuguhkan dengan tema heroik yang dimainkan oleh piano dan dilengkapi dengan alunan orkestra beserta perkusi yang menambah unsur heroiknya. Tidak lama berselang, tempo piano dan orkestra sama-sama naik dan semakin cepat hingga ditutup dengan cadenza piano yang lama-lama kelamaan temponya menjadi molto marcato (sangat beraksen). Kamu bisa mendengar cadenza yang cukup singkat (tapi sangat, sangat kompleks!) ini di sini (time stamp 41:25).

Selepas molto marcato ini, kita sampai pada bagian ikonik yang menandai akhir dari bagian ketiga. Dibuka oleh tempo vivacissimo (sangat cepat dan ringan), piano yang dimainkan secara chordal dengan staccato sehingga terdengar sangat ‘perkusif’.

Seakan saling menyaut dengan piano, orkestra juga mengalunkan melodi yang sama sehingga kita bisa mendengar harmoni yang sangat mengena dan terdengar sangat sinematik seperti yang tergambar pada partitur ini. Penanda tempo allargando membuat bagian ini secara perlahan terdengar melambat sehingga memberikan kesan melodi-melodinya seperti ‘melebar’. Menurutku, ini salah satu hal yang membuat bagian ini terdengar sangat sinematik, seperti menonton bagian akhir dari film-film heroik dimana si pahlawannya menang setelah melalui pertempuran yang epik.

Bagian ketiga ditutup dengan ritme empat-nada yang berpola panjang-pendek-pendek-panjang, oleh sebagian ahli dianggap sebagai ciri khas Rachmaninoff (semacam motif B flat-A-C-B natural yang menjadi ciri khas pada karya-karya Bach).
Ngga kerasa, ulasan ini sudah berakhir (untuk saat ini, hehe). Aku sangat berharap semoga aku masih bisa menyaksikan bagaimana Konserto Piano No. 3 ini dimainkan oleh para solois dan orkestra lain. Sekali lagi, terima kasih banyak Sir Hough dan Jakarta Simfonia Orchestra sudah membawakan konserto favorit Rachmaninoff.
Terima kasih juga untuk kesempatan berbincang sejenak dengan Sir Hough. Tidak banyak yang sempat diobrolkan, yang jelas aku bertanya pada beliau tentang rencana beliau yang akan memainkan Konserto Piano No. 2 Rachmaninoff di Glasgow nanti. Semoga Tuhan berbaik hati memberi rezeki untuk aku bisa melihat lagi penampilan beliau tersebut… kali ini dengan konserto piano favoritku sedari kecil.
Sampai jumpa pada ulasan berikutnya!
[…] To Read? A Contemplative Takeaway of Mahler’s Symphony No. 2 (“Resurrection”) | Konserto Piano No. 3 – Konserto Favorit Rachmaninoff (oleh Sir Stephen Hough dan Jakarta Simfo… Renungan Kemerdekaan melalui ‘Indonesiana’ oleh Jakarta Sinfonietta | Afterimage: French Exit […]