Posted on: May 15, 2022Posted by: Aulia ReskiComments: 0
Keseharian setelah Lebaran kemarin sebenarnya ngga ada yang berubah. Malah, aku ngga ngerasa momen libur Lebaran (well, obviously karena aku cuma libur di hari Lebaran-nya aja). Masuk lab setelah tanggal 1 Syawal/2 Mei juga ya biasa aja. Mungkin bakal jadi ngga biasa kalau rumahku jauh banget kaya’ yang beda provinsi gitu kali ya?
Oke, mari kembali ke topik utama (yang mana belum aku sebut sih hehe). Kali ini, topik utamanya adalah Weekly Recap. Singkat cerita, aku mau biasain membuat jurnal mingguan untuk mengingat kembali apa yang udah kulakuin selama seminggu belakangan.
Berhubung ini jurnal mingguan (dan bisa jadi sebagian besarnya bakal terasa personal), jadi aku mau menulis jurnal ini sesantai mungkin. ‘Sesantai mungkin’ ini yang kayanya cukup menantang (ngga mau bilang susah tapi ya gitu deh) buat aku. Kecenderungan bekerja di lingkungan yang mengutamakan penulisan ilmiah membentuk aku untuk (terlalu) mengkritisi caraku menulis.
“Apaan sih, ngga formal nih diksinya,”
“Duh ini satu paragraf, kalimat penjelasnya gimana sih”
“Ayo ul, konsisten… semi-formal ya semi-formal aja, full Bahasa Indonesia ya Bahasa Indonesia aja,”
Ya gitulah. Akhirnya karena kecenderungan yang kaya begitu malah jadi ‘penghambat’ untuk menulis (santai). Padahal, pengennya sih nulis santai as if lagi ngobrol gitu. Teman-temanku yang sering ngobrol sama aku dan lagi baca ini pasti kebayang maksudku gimana.
(Yang belum sering ngobrol gimana? Yaudah tulisan ini kurang lebih mirip sama caraku ngomong sehari-hari. Jadi, kebayang kan?)
Tanpa cas-cis-cus, aku mau mulai Weekly Recap kali ini. Bismillah.
Tiga Puluh
Ngga kerasa, 5/6 dari total sampel kerja riset udah mencapai angka 30. The Big Three-O. Sungguh bukan perjuangan yang mudah tapi syukurnya bisa sampai juga di fase ini. Enam sampel lagi and we’re finished?
Well… masih ada pengamatan dengan mikroskop konfokal untuk nentuin konsentrasi kalsium intraseluler/di dalam sel gitu. Jujur aja, kalau diibaratin main game, fase konfokal ini ngga ada bedanya sama critical side quest yang harus dikerjain sebelum ke final boss-nya. Kenapa? Karena persiapan dari preparasi jaringan sampel sampai ke pengamatan itu membutuhkan gerak cepat yang sat set sat set biar pewarnanya ngga pudar (maklum aja, pewarna fluoresens… mahal pula) dan jaringannya masih bisa diamati.
Kurang lebih pengukuran konsentrasi kalsium kalau dirangkum seperti ini:
Bikin sayatan jaringan di cryotome
Sayatan jaringan diwarnai dan diinkubasi di tempat dengan suhu ruang dan minim cahaya (gelap sekalian kalau bisa)
Sat set sat set kelar inkubasi harus langsung diamati dengan konfokal
Here comes the part yang menguji kesabaran: Cari daerah pandang buat capture intensitas fluoresens dari molekul target yang berhasil terwarnai
Ketemu – capture – save – convert – buka di aplikasi lain untuk olah & analisis data
Here comes the math: Hitung konsentrasinya dengan rasiometrik (ya karena pakai dua pewarna yang masing-masing mengikat ke molekul kalsium bebas dan terikat, jadi dibikin rasio gitu)
Kelar (setidaknya untuk critical side quest ini)
Nah apa lagi yang bikin menantang? Waktu dan jarak.
Mungkin bakal jadi cerita sendiri aja kali ya. Singkatnya, kalau lagi saatnya pengerjaan riset di Salemba ini, aku jadi lebih jarang bicara, jarang interaksi ini-itu, bahkan buka hp aja ogah. Kalau dibikin alur perjalanan dari satu lab ke lab lain:
Pagi, ambil ice box di Lab Terpadu jam 8 (estimasi waktu*: 10 menit) —> Bawa ice box ke Pusat Jantung Terpadu RSCM, sampling sampai jam 11 —> Dari PJT, balik lagi ke Lab Terpadu (estimasi waktu**: 15 menit) —> Balik ke Lab Terpadu, pengerjaan sampel (estimasi waktu***: 1,5 jam) —> Bawa hasil fraksinasi mitokondria ke Lab MBPCF IMERI (estimasi waktu****: 10 menit)
*Ngga boleh lari soalnya lorong dari belakang FK – RSCM itu juga lorong yang dilewati pasien dan keluarga pasien… jadi menghindari ketabrak. Jadi ini estimasi waktu dari rata-rata waktu tiap aku jalan kaki cepet banget alias udah kaya semi-lari aja 🥲
**Agak lebih lama karena harus ganti scrub lagi di ruang ganti, pakai baju, pakai sepatu, dsb. 15 menit ini udah paling cepetnya aku sih. Ngga ada namanya duduk santai-santai dulu. Apalagi kalau jalannya santai, ngga suka banget karena bakal ngaruh ke waktu pengerjaan juga. Ugh.
***Satu setengah jam ini udah termasuk:
Fraksinasi organel target (mitokondria)
Ukur konsentrasi protein total pakai metode Bradford
Ukur densitas optikal hasil fraksinasi pakai spektrofotometer (buat lihat ada ngga si mitokondria yang edema dari kumpulan fraksinasi itu)
Preparasi pewarnaan hasil fraksinasi dengan JC-1 untuk diukur dengan spektrofluorometer di Lab Molecular Biology & Proteomics Core Facility
Bikin serum darah dari sampel darah yang diambil
Bikin jaringan simpan buat nanti dibawa ke Instalasi Bedah Pusat (IBP, bagian dari Lab Patologi Anatomi euy) untuk dibikin sayatan beku.
****Ini wajib ngga boleh lebih dari 10 menit tapi bawa campuran sampel-reagennya harus hati-hati biar ngga tumpah dari microplate. Well, sampelnya udah di dark microplate gitu dan harus ditutup pakai tutup gelap atau ngga alumunium foil. Jarak dari Lab Terpadu ke MBPCF bisa aja sih ditempuh dalam 5 menit SELAMA NGGA ADA YANG PAKAI LIFT DI RESEARCH TOWER hehe. Kalau ngga, aku harus nunggu (makanya aku harus spare waktu 5 menit for total 10 menit). Tch, mendokusai.
Ya, jadi… lumayan ya. Penelitiannya tentang jaringan jantung. Akunya juga sport jantung tiap pengerjaan sampel. Hehehe. Hehe. He. 😞
Ngomong-ngomong bikin sayatan jaringan beku, jadi ada salah satu pertanyaan dari staf di Lab Terpadu tentang gimana caranya bisa buktiin jaringan yang nanti diwarnai dan diamati dengan konfokal ini memang ngga rusak?
Hmm, sekitar dua bulan kemarin, aku ditunjukkin contoh pewarnaan jaringan jantung mencit dengan pewarna fluoresens. Dari situ keliatan sih ya struktur myofibrilnya dan inti sel (inti selnya juga ikut terwarnai gitu). Bener-bener HD dan cakep banget! Maaf ngga bisa aku post di sini (walaupun ngga ada larangan tertulis?) karena itu sampel orang lain dan ngga etis aja. Siapa tau datanya masih confidential kan.
Btw, itu sampai keliatan per sel gitu soalnya si peneliti yang punya jaringan mencit ini mau capture protein aktin yang emang ada di sekitaran myofibril gitu. Dia mau buktiin ada ngga perubahan jumlah aktin tapi secara kualititatif aja gitu… ngga sampai diitungin konsentrasinya.
Nah dari situ kan kepikiran, apa pakai metode ini aja ya buat buktiin jaringan dari sayatan beku kami ini masih bagus apa ngga. Ugh… usut punya usut butuh dua pewarna untuk lakuin hal ini. Mungkin harga emang jadi well… yeah struggle-nya sendiri.
Terlepas dari harga, nungguin pewarna ini dikirim ke Indonesia adalah another struggle yang jujur menguras stok kesabaran. Ngga tau sih kenapa selama itu, tapi dua pewarna fluoresens untuk kalsium yang kami punya sekarang pun nunggunya hampir mau 3 bulan. Ugh, buatku nunggu 3 bulan itu kelamaan sekali.
Nah terus gimana caranya nih buat jawab pertanyaan staf di lab, awalnya aku masih berusaha buat minta ‘pinjam’ reagen semisal boleh. Aku baru tau Rabu kemarin ternyata reagennya juga bukan punya Lab Terpadu (milik pribadi peneliti). Semisal dibolehin pun, aku juga bingung gimana gantiinya.
Rabu kemarin, aku pergi ke Instalasi Bedah Pusat (IBP) di samping PJT, aku mau bikin sayatan buat optimasi. Niatnya, mau nyoba jawab pertanyaan staf tersebut dengan bandingin hasil pengamatan jaringan segar (yang bener-bener baru diambil 3 jam pasca operasi) dengan jaringan simpan. Minimal ini cara yang kupikir bisa dilakuin untuk lihat ada kontras nilai intensitas fluoresens kalsium ngga antara dua jaringan ini. Kalau ada, fix berarti pewarnanya lebih optimal pada jaringan segar yang masih optimal juga kondisinya.
Nah yang menarik nih pas kelar bikin sayatan pada jaringan segar, kan ada pewarna HE (hematoxylin-eosin) tuh di IBP. Salah satu staf IBP bikin pewarnaan HE ke slide jaringan karena dikira aku juga minta sekalian pewarnaan HE. Daripada dibuang, aku mikir ini mau diapain nih.
Nah, baru deh aku kepikiran “Kan bisa juga buktiin secara histologis pake HE! 😆” . Akhirnya langsung sat set sat set pinjem mikroskop – pasang slide – cari dari perbesaran kecil ke gede dan tampaklah sudah pada perbesaran 40x. Alhamdulillah jaringannya masih oke, terbukti dengan inti sel-inti selnya masih pada di dalam sel, sel-selnya ngga ada yang aneh-aneh bentuknya, dan susunan selnya masih lumayan organized layaknya jaringan yang sehat 🥲.
5 um, 40x, sayatan beku jaringan segar otot jantung manusia (courtesy: A.R. Widyaningrum, 2022)
Beres dari pengamatan pertama, udah deh langsung gercep bikin sayatan selanjutnya —> warnain —> observasi mikroskop —> analisis & bandingin sama literatur —> balik lagi ke Lab Terpadu. Fyuuh. Capek tapi huaaa seru banget bisa kejawab pertanyaan yg bikin penasaran! 😆
Tangga Nada Minor
“Nada-nada yang minor…. lagu perselingkuhan… atas nama pasar semuanya begitu… klise,”
Efek Rumah Kaca menjadi pembuka dari subbab yang ngga ada hubungannya sama lagu Cinta Melulu-nya ERK itu. Hehe, biar sama aja gitu berhubung di kelas violin tingkat 10 ini aku mulai banyak berkenalan sama nada-nada yang minor~
Kelas offline juga, yeah! Halo D minor natural! 🥲
Oh iya, akhirnya… kelasku offline juga! Awalnya sih kurang begitu suka (tumben?) karena aku udah kebiasa dengan kelas online yang sangat-sangat convenient, ngga perlu ribet-ribet ke Bogor lagi, dan tinggal online deh.
Udah 1,5 tahun menjalani kelas hybrid (online dan offline), full online, dan akhirnya balik offline lagi lumayan menantang sih buat semua pelajar, ngga terkecuali yang ambil sekolah atau kursus musik. Mungkin buat kelas teori bisa sih kita belajar sendiri sambil juga online, tapi sesi aural training itu lebih cepet pahamnya kalau kita dibimbing guru sih.
Sesi aural training biasanya berlangsung kurang lebih seperti ini:
Dengerin tangga nada yang dimainin dengan piano oleh guru —> Terus aku replicate tangga nada yang kudenger tadi dengan violinku —> Diulang lagi sampai posisi jariku dan nada sudah betul
Hmm, sesi ini sih cepet sebenernya… kalau main di tangga nada mayor. Kenapa? Karena pola nada pada tangga nada mayor tuh secara alami kita udah ngeh kan? Nah, yang jadi PR BANGET adalah tangga nada minor.
Nada-nada yang minor (ya ampun ngetik beginian aja bikin aku hampir nyanyi)… well, nada-nada minor itu yang aku hafal jatuhnya masih tangga nada minor natural. Sedangkan, minor sendiri masih ada harmonik dan melodik. Secara teori, ngafalin gimana cara konversi dari mayor ke minor (natural) terus ke anakannya: harmonik dan melodik itu tuh gampang kok. Kurang lebih begini:
Ubah dari mayor ke minor natural: Pada template tangga nada mayor, nah turunin setengah nada pada nada ke-3, 6, dan 7. Contoh:
D mayor: D – E – F# – G – A – B – C# – D^ – C# – B – A – G – F# – E – D
D minor natural: D – E – F – G – A – Bb – C – D^ – C – Bb – A – G – F – E – D
Yak, yang berubah adalah si nada F# jadi F, B jadi Bb (Bes atau Bmol), dan C# jadi C. Ini mainnya satu oktaf ya, jadi pas udah sampai pada nada ‘do’ tinggi (D^) balik kembali lagi ke nada rendah. Nah kuncinya nih: saat main menuju ke D^ dan kembali ke D rendah (’do’ awal), semua susunan kunci nadanya sama.
Ubah dari mayor ke minor harmonik: Pada template tangga nada mayor, turunin setengah nada cuma pada nada ke-3 aja, tapi turunin lagi nadanya pada nada ke-3, 6, 7 kaya pas kita main minor natural. Contoh:
D mayor: D – E – F# – G – A – B – C# – D^ – C# – B – A – G – F# – E – D
D minor harmonik: D – E – F – G – A – B – C# – D^ – C – Bb – A – G – F – E – D
Ubah dari mayor ke minor melodik: Pada template tangga nada mayor, turunin setengah nada pada nada ke-3 dan 6.Contoh:
D mayor: D – E – F# – G – A – B – C# – D^ – C# – B – A – G – F# – E – D
D minor natural: D – E – F – G – A – Bb – C# – D^ – C# – Bb – A – G – F – E – DNah, si minor melodik ini sama kaya natural. Susunan kunci nada pada saat menuju ke D^ dan kembali ke D rendah itu juga sami mawon.
Bagaimana, Pembaca? Mudah bukan memainkannya? 😄
Okelah, secara teori tuh pasti kalian yang baca ini juga mikir, “Gampil banget ini ckck,”. Memang mudah kawan, tapi ternyata kalau disuruh denger dan bedain mana minor natural, harmonik, dan melodik dalam satu repertoar yang dimainin gimana?
Yak, itulah yang bikin aku insecure. Jujur, kalau tangga nada minor itu dimainin secara berurutan (do-re-mi-fa-so-la-si-do) gitu, mungkin aku masih bisa bedain mana yang natural, harmonik, dan melodik. Tapi ini tuh bedainnya masih pakai mikir dulu gitu sambil dengerin super fokus.
Padahal kan goal-ku gimana caranya aku bisa langsung bedain dengan cepat gitu. Emang ya, kadang goal-ku kaya gini yang bikin aku ribet sendiri. Tapi pada akhirnya, ya memang harus bisa bedain ketiga jenis minor itu dengan luwes sih.
Ujianku sendiri di bulan Agustus. Kabar baiknya (atau buruk? 😢), ujianku per term ini udah bisa diadain offline di headquarter Yamaha Music School di Gatot Soebroto. Ugh, jauh sih ngga, cuma… ujian offline itu cukup bikin deg-degan. Terbalik dengan aku yang masih ngerasa cupu dengan perminor-minoran ini dan minta pengunduran ujian ke November (atau ngga Maret taun depan huhu gapapa deh), guruku kok kenapa beliau pede sekali ya?
Beberapa kali pas hari Kamis kemarin latihan aural (pendengaran gitu) beberapa tangga nada minor dan diminta menebak mana yang natural, harmonik, dan melodik. Ya syukurnya kemarin bener sih jawabnya, cuma gitu aku mesti super fokus banget banget dan ngehitung pada nada ke-3, 6, 7 ada ngga perubahan turun suara. Berhubung disemangatin, aku juga mikir “Masa orang lain optimis, kamu ngga sih ul?”
Akhirnya biar ngga cuma optimis-optimis aja, aku imbangin latihan aural dengan bikin playlist dari beberapa repertoar favoritku yang SEMUA TANGGA NADANYA DI D MINOR! 😤 Minimal dengan dengerin lagu, telingaku bakal terbiasa dengan warna dan vibe nada-nada minor tuh kaya gimana, khususnya D minor (karena itu salah satu dari EMPAT tangga nada yang jadi bahan ujianku 🥲). Dan tentu saja, berlatih 😄
Kisi-kisi ujian… buat apa kalau tidak latihan? 🙂 #40HoursLetsGo #SibeliusLendMeYourPower
Btw, ini playlist-nya siapa tau mau denger juga. Btw lagi, skip aja pas denger Ein deutsches Requiem kecuali kalian ngga masalah sih tiba-tiba melancholic terus nangis dadakan. 🥲
Selesai kelas violin Kamis kemarin, aku sempatin ke Niji di dekat Stasiun Bogor. Mampir sambil sekalian nyobain biji kopi Temanggung gitu sebelum balik lagi ke Depok. Ternyata biji kopinya udah habis, hari itu mereka lagi serving biji kopi Argopuro dan Nensebo Bildimoo Ethiopia buat manual brew-nya.
Ethiopia Nensebo Bildimoo (Kenapa font-nya ‘ngide’ banget sih?)
Sedih ngga ada Temanggung, tapi lumayan nih bisa nyoba Ethiopia yang dari dulu dipengen coba hehe. Walaupun ngga exactly sama (pengennya sih yang Ethiopia Yirgacheffe 🥲), tapi karena penasaran mari kita coba saja kan. Akhirnya pas dicoba, hmm… aku ngga notice apapun.
Deskripsi tasting note-nya itu ada jasmine, tropical fruit, blood orange, dan sugar candy. Tapi bahkan aroma jasmine yang dibilang bakal terasa sebagai aftertaste ngga ‘kecium’ di rongga mulutku. Asamnya pun… well, aku ngga ngeh seperti apa asamnya blood orange itu. Tapi, kalau boleh diringkas, acidity dari Nensebo Bildimoo ini cukup mild dan lembut. Bukan asam yang ujungnya pahit terus nyegrak gitu.
Agak pundung karena ngga ngerasa apa-apa, jadi sempet ngomong ke baristanya,
“Saya ngga jago sensory kali ya?”
“Iya, aku juga pundung dek Anya, ngga bisa rasain kopinya?” 🥲
Maksudnya, sensory rasa dan aromaku emang sepayah itu kali ya sampai ngga bisa notice aroma jasmine/melati. Eh lah, ternyata baristanya juga sependapat. Malah menurut dia aromanya kurang kuat (?), bisa jadi pas pemrosesannya (btw ini prosesnya natural), bisa jadi karena grindsize-nya, bisa juga karena filter sampai bisa juga karena metode pouring-nya. Ya banyaklah faktornya.
Nah, karena mungkin kepundunganku ini keliatan banget (?), baristanya berbaik hati sekali brewing biji kopi oleh-oleh temannya dari Thailand. Moonstone yang punya tasting note leci dan permen manis. YA BENER AJA aroma leci pas diminum kopinya pun kerasa banget tanpa harus aku minum 2-3 teguk.
Secangkir Nensebo Bildimoo Ethiopin (cangkir kiri) yang sudah habis dan Moonstone Thailand (cangkir kanan)
Sebelum kuminum sih, ini kopi aromanya kecium seperti buah jambu kristal/jambu batu gitu, wangi buah manis gitu deh. Aroma kopinya setelah diminum memang seperti aroma permen manis… well, permen kapas/arumanis gitu sih kalau buatku.
Moonstone Thailand, si kopi penjawab keraguan kalau tasting note itu bukan gimmick🥲
Sayangnya, aku belum nemu yang jual di Indonesia. Ketemu sih yang jual dari salah satu roastery di Thailand, Nana Roastery, sayangnya juga aku bingung ini ngga bisa beli via website-nya. Ada sih ikon cart-nya, tapi ngga bisa add to cart Moonstone-nya.🥲
Pokoknya, kalau aku bisa dapat Moonstone, pengen tak bawa ke Coldheart Posbloc buat dijadiin omakase. Ngga sabar sih ada banget, hehe. 😬
Waktu
Sampailah kita pada subbab ketiga dari jurnal mingguan ini, aku ngerasa kalau makin ke sini waktu berasa secepat itu. Tiba-tiba udah pertengahan Mei aja. Nanti juga ngga kerasa udah Juni, udah pertengahan tahun aja. Yaudah sih mungkin ya begitulah waktu. Cepat atau lambatnya itu relatif tergantung gimana kita menyikapinya.
Dari September tahun kemarin, pas mulai aktifin akun Steam karena pengen main Stardew Valley sambil nunggu Eiyuden Chronicles, aku ngerasa nunggu Eiyuden tuh lamaaa banget. Eh ndilalah udah 10 Mei aja, udah rilis aja Eiyuden yang Rising! 😭
Seneng banget!!! Tapi, kesenangan itu ngga secara langsung bertahan lama karena pertanyaanku selanjutnya adalah: “Emang kamu mau main kapan ul? Emang ada waktu?” 🥲
Ya, waktu mah selalu ada. Tapi, menjadi dewasa juga artinya kan ngeduluin apa yang jadi prioritas kan?
Oke, sekian dulu Weekly Recap minggu ini.
Good job, Aulia! Bisa juga kamu nulis ‘logbook’ begini selain logbook lab hehe.
Catatan Selama Nulis Postingan Ini:
Jumlah teh yang diminum: 2 gelas @ 450 ml (Teh Poci Vanilla celup emang ga kaleng-kaleng)
Jumlah minuman lain: setengah botol Coca Cola (huhu bisa ngga sih stop minum soda?)
Jumlah makanan: 2 porsi corndog, 1 bungkus Chic-Choc Delfi.
Jumlah lagu yang didengerin: Se-playlist D Minor Aural Training dan Cinta Melulu-nya ERK (ya jadi kangen dengerin lagunya, hehe)