
Untuk segala hal yang terjadi hari ini, tulisan ini lahir. Semoga apapun yang dituangkan ke dalam tulisan ini mampu menjadi medium refleksi diri.
—

Awal November, empat tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku menapakkan langkah di tempat yang jadi impianku dan juga temanku untuk melanjutkan pendidikan, Harvard. Mimpi kami berdua jelas berbeda walau berada di koridor yang sama, biomedik. Aku ingin belajar lebih dalam tentang rekayasa genetik dan biologi sintetik untuk diagnosis dan terapeutik. Temanku ingin menimba ilmu di bidang virologi dalam kapasitasnya sebagai dokter, nantinya.
Manusia bisa berharap, Tuhan yang berkehendak. Empat tahun lalu jugalah yang menjadi testing ground atas segala bentuk pengharapanku terhadap makna hidup. Temanku berpulang dalam keheningan. Serangan jantung mendadak yang sebenarnya tidak lagi menjadi pertanyaan. Cuma, saat itu yang ada di kepalaku hanya pertanyaan,
“Dari sekian manusia jahat, ngga berguna, dan hidup semena-mena, kenapa ‘mesti’ temenku?”
Segala hal yang membuat kita merasa hidup di masa muda seperti fisik yang prima, kelancaran rezeki, hingga perasaan tertantang setiap kita melakukan hal yang kita suka tidak jarang membuat kita berpikir bahwa kita ‘masih’ dan ‘akan selalu’ punya banyak waktu. We have all the time in the world. Kurang lebih bisa diartikan begitu.
Buddha pernah bilang bahwa sesaat kita berpikir kalau kita masih punya waktu, saat itulah masalah timbul. Kita terlena dengan kefanaan dari konsep masa muda yang membuat kita begitu bersemangat untuk menghabiskan waktu selagi kita masih muda. Mungkin, aku termasuk dari bagian yang khilaf bahwa masa muda tidak menjamin ‘tenggat waktu hidup’ kita masih lama. Mungkin karena itu jugalah, beberapa kehilangan yang kualami masih jadi luka yang membekas.

Bagiku pribadi, masa berduka bukanlah hal yang terberat karena sejatinya berduka adalah hal yang sangat wajar bagi orang yang kehilangan. Hal yang terberat dari seseorang yang mengalami kehilangan adalah melanjutkan hidup hanya dengan kenangan baik yang tertinggal saat figurnya tidak lagi ada. Seperti hujan yang sesekali turun di masa kemarau, kenangan baik dari orang yang telah pergi dari hidup kita tentunya terasa menyejukkan di tengah langkah kita meraih cita-cita, mimpi, dan harapan di bawah teriknya tuntutan hidup.
Karena itu, apa yang kulihat empat tahun yang lalu di Harvard bukan lagi mimpiku dan mimpi temanku. Apa yang kulihat dari pantulan cahaya pada wajah patung besi itu tidak lain adalah tujuan yang lebih besar dari sekedar mewujudkan mimpi dan menjawab rasa ingin tahu.

Tujuan itu bernama pengabdian.
—
Penutup
Mungkin, tujuan hidup seseorang mulai diuji saat tujuan hidupnya terdefinisi ulang. Empat bulan berselang setelah pulang dari tempat ini, aku diterima untuk melakukan penelitian tugas akhir mengenai penyakit langka metabolik, Mukopolisakaridosis tipe II (Sindrom Hunter). Salah satu pembimbingku, seorang dokter anak, sesekali mengajak kami bertemu pasien dan orang tua pasien ketika ada kesempatan. Beliau ingin kami yang ada di klaster riset beliau paham bahwa setiap langkah yang dilakukan dalam riset pun turut bermakna dalam membangun pemahaman tentang penyakit ini. Mungkin ambisius sekali harapanku untuk melihat suatu saat tidak ada lagi yang menderita karena penyakit langka herediter apapun itu, tapi setidaknya harapan itu membuatku punya alasan untuk tidak lelah belajar sekompleks apapun itu materinya.
Sejak Maret tahun lalu, aku berkesempatan untuk menjalani pekerjaan riset tentang penyakit jantung bawaan, Tetralogi Fallot. Empat jenis abnormalitas bawaan pada jantung yang tidak dikoreksi akan berpotensi pada timbulnya kematian. (Serangan) jantung yang menjadi sebab dari kepergian temanku, jantung jugalah yang menjadi ‘tempatku’ belajar memaknai hidup.
Saat ini, aku masih menjalani pekerjaan ini sambil membagi waktu di Depok untuk pemeriksaan COVID-19. Baik pekerjaan riset ini maupun pemeriksaan tersebut, aku bersyukur karena keduanya tidak hanya jadi tempat untuk membaktikan ilmu tetapi juga untuk memahami esensi ‘menjadi hidup’.
Agustus tahun lalu, aku diizinkan untuk observasi prosedur koreksi jantung sebagai bagian pemantauan waktu sampling darah dan biopsi jaringan untuk penelitian. Ada tiga periode yang diamati: pra iskemia (sebelum aliran darah dikosongkan di jantung), iskemia (saat aliran darah dikosongkan), reperfusi (saat aliran darah dikembalikan ke jantung). Untuk pertama kalinya, aku melihat jantung yang berdetak kemudian dialihfungsikan dengan cardiac pulmonary bypass, jantung kemudian dikoreksi, lalu dikembalikan lagi fungsinya. Untuk pertama kalinya juga, ada sebentuk kesadaran ‘baru’ yang muncul saat melihat jantung yang kembali berdetak. Setiap jaringan otot jantung seakan-akan berlomba untuk menggerakkan ‘ruh’ kehidupan di tubuh kecil pasien anak ini. Sebentuk kesadaran yang muncul mengingatkanku esensi dari ‘menjadi hidup’:
Batas hidup dan mati itu sangat tipis, setipis tiap jaringan yang menyusun jantung yang tampak tebal ini.
Jadi, hiduplah selayaknya kita terlahir untuk hidup. Tidak hanya menerima kenyataan bahwa kita terlahir untuk ‘menjalani’ kehidupan saja. Cobalah hidup dengan melihat kenyataan bahwa hidup kita hanya sekali. Benar-benar satu kali.
Dan, dalam aspek ‘satu kali’ itu, sudikah kita menghabiskan waktu hidup kita tanpa menjalani apa yang benar-benar menjadi panggilan hidup kita?